JAKARTA, KOMPAS.com — Josaphat Tetuko Sri Sumantyo, ilmuwan Indonesia yang kini berkarya di Jepang, mengembangkan pesawat tanpa awak (unmanned aerial vehicle/UAV) berbadan besar bernama Josaphat Laboratory Large Scale Experimental Unmanned Aerial Vehicle (JX-1).
"JX-1 sementara ini terbesar di Jepang, dan mungkin di Asia," ungkap Josaphat dalam wawancara lewat e-mail dengan Kompas.com, Sabtu (16/6/2012).
JX-1 dibuat untuk melakukan pengujian perangkat gelombang mikro dan
kamera untuk penginderaan jarak jauh yang selama ini juga dikembangkan
di laboratorium miliknya, Josaphat Microwave Remote Sensing Laboratory
(JMRSL), di Center for Environmental Remote Sensing, Chiba University,
Jepang.
JX-1 dikembangkan sejak lima tahun lalu. Salah satu
pertimbangannya adalah efektivitas biaya. Jika meminjam UAV untuk
pengujian, prosedurnya cukup rumit dan memakan biaya besar.
"Misalnya pernah saya akan instal radar dan ditawari biaya senilai sama
untuk membuat UAV berbadan besar lebih dari lima unit. Kalau punya UAV
sendiri, bisa setiap saat menerbangkan sendiri dan tidak perlu khawatir
untuk mengoperasikannya di daerah-daerah berbahaya," urai Josaphat.
Lebih besar, lebih mumpuni
JX-1 memiliki beberapa kelebihan dibanding pesawat tanpa awak lain di Jepang saat ini, utamanya dalam hal ukurannya.
"Angkatan bersenjata Jepang pun hanya mempunyai UAV originalnya dengan
rentang sayap terbesar adalah 3 m, sedangkan JX-1 adalah 6 m dan dapat
ber-payload sensor-sensor sekitar lebih dari 30 kg," tambah Josaphat.
Pesawat tanpa awak berbadan besar diperlukan untuk mengakomodasi
perangkat dengan beragam frekuensi serta mendukung proyek Josaphat
selanjutnya.
Josaphat menjelaskan, teknologi Synthetic Aperture
Radar (SAR) di Jepang saat ini bekerja pada frekuensi L band dengan
polarisasi linear. Sementara Josaphat sendiri mengembangkan SAR yang
berbasis polarisasi sirkuler sebagai sensor SAR baru di dunia.
Supaya dapat dibandingkan dengan sensor sebelumnya, Josaphat tetap
mengembangkan pada frekuensi yang sama. Sementara L band memiliki
panjang gelombang yang cukup panjang sehingga dibutuhkan antena
berukuran lebih besar.
"Agar dapat mengakomodasi perangkat pada
frekuensi rendah ini hingga tinggi (sekitar 50 GHz), maka UAV ini
dirancang mempunyai ruang besar sejak awal," papar Josaphat.
JX-1 juga dipersiapkan untuk mendukung penelitian berikutnya. Saat ini
sedang dipersiapkan radar yang akan bekerja pada frekuensi P, S, C, X,
dan Ku band. Ruang yang besar dibutuhkan untuk mengakomodasi payload misi secara bersamaan.
"Memang saat ini ada UAV kecil-kecil, tapi mempunyai keterbatasan fungsi dalam misi, termasuk flight endurance," kata Josaphat.
Selain soal ukuran, JX-1 memiliki kelebihan sebab dirancang tembus gelombang mikro dengan dielectric constant sekitar
1,5 atau material badan pesawat berkarakteristik mendekati udara.
Dengan demikian, radar bisa disimpan di dalam badan pesawat sehingga
lebih terlindungi dan pancaran gelombang dapat menembusnya.
Tulang punggung riset penginderaan jauh
JX-1 berhasil diterbangkan perdana pada 7 Juni 2012 lalu di Fujikawa
Airfield. Setelah penerbangan perdana ini, JX-1 bakal siap mendukung
beragam misi pengujian serta misi lanjutan berikutnya.
Saat
ini, laboratorium Josaphat tengah mengembangkan Circularly Polarized
Synthetic Aperture Radar (CP-SAR) sebagai SAR aktif sensor, GPS-SAR
sebagai SAR pasif sensor, GPS-Radio Occultation (RO), dan Linear
Polarized Synthetic Aperture Radar (LP-SAR).
JX-1 nantinya
akan dimanfaatkan untuk menguji coba sensor tersebut. Setelah uji coba,
sensor akan diaplikasikan pada mikrosatelit yang juga dikembangkan oleh
Josaphat dan tim, bernama GAIA-I dan GAIA-II.
Josaphat
menjelaskan, kedua mikrosatelit yang dikembangkan bertujuan untuk
mengamati pergerakan kerak bumi sehingga membantu memprediksi gempa dan
tsunami 3-5 hari sebelum kejadian. GAIA-I akan mengamati dalam resolusi
lebih besar, sementara GAIA-II dalam citra yang lebih detail.
Di Jepang, teknologi yang dikembangkan Josaphat digadang mampu menjadi
tulang punggung dalam riset penginderaan jauh. Nantinya, penginderaan
jauh tak hanya mengandalkan radar dan satelit, tetapi juga didukung
pesawat tanpa awak.
Saat ini, kata Josaphat, Malaysia dan
Jepang sudah bekerja sama lewat program transfer teknologi untuk
mengamati Semenanjung Malaysia. Josaphat berharap, Indonesia pun ke
depan juga berminat mengaplikasikan teknologi yang dikembangkannya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar